Di sekolah
ini, SMA Negeri 104 Jakarta, Lisa menuntut ilmu. Tempat yang ia pikir akan membuatnya semakin mengerti apa
arti hidup yang sebenarnya, karena ia mengerti bahwa tidak sembarangan orang
yang dapat memasuki sekolah ini.
Memang pada
kenyataannya tidak mudah menjalani kehidupan di tempat ini. Tak dia sangka,
diskriminasi ternyata masih terjadi di lingkungan sekolah ini. Entah apa
salahnya, beberapa teman memandangnya sebelah mata. Sherly dan teman-temannya
sering membuat ulah padanya. Sudah semenjak SMP mereka seperti itu, dan hingga
kini tidak ada rasa bosan di dirinya untuk berbuat ulah pada diri Lisa. Bagi
mereka, apa yang Lisa lakukan pasti selalu berantakan. Ya memang, Lisa susah
mengontrol apapun yang ia lakukan.
Pada tahun ajaran ini, kebetulan
acara yang diadakan oleh sekolah menunjuk Lisa untuk menjadi salah satu anggota
panitianya. Dan ternyata Lisa memiliki partner kerjanya, seorang lelaki dari
kelas sebelah. Ya, Satria terpilih menjadi partnernya. Dilihat-lihat, Satria
orangnya baik, pintar, bertanggungjawab, dan yang pasti seperti apa yang
teman-teman katakan jika dia tampan.
“Lis! Lis!
Kamu kenapa?” ucapnya sambil melambaikan tangannya di depan kedua mata Lisa.
“Astaga! Aku
kenapa? Aku belum kenal dia, hanya sebatas teman saja” suara hati Lisa kembali
berkata. Sambil menyadarkan pikirannya, ia tampar pelan pipinya itu.
Tugas
pertama mereka adalah membuat surat-surat untuk keperluan acara sekolah. Lisa
pernah mendengar Satria memang sering dipilih menjadi panitia di acara-acara
SMP-nya dulu, sehingga ia mengajari Lisa langkah apa saja yang harus Lisa lakukan
kini.
“Oke, ini
aku dapat beberapa pekerjaan yang harus kita lakukan. Pertama, aku akan
mengerjakan tugas-tugas awal ini agar kau nanti dapat mengerti apa yang harus
kau lakukan”, dengan sabarnya Satria mengajari Lisa. Lisa hanya bisa mengangguk
pelan. “Semangat, Lis!” ucapnya
sambil menggenggam tangannya di hadapan Lisa.
Tak hanya di
dunia maya, informasi akan cepat beredar, di sekolah ini pun segala informasi
cepat beredar. Salah satunya berita bahwa Lisa dan Satria berpartner dalam
kepanitiaan acara sekolah tahun ini. Satu sekolah pasti tahu bahwa Satria
memang anak yang pintar apalagi parasnya yang memang menunjang kepopulerannya
di sekolah ini. Tak salah bila banyak yang mengaguminya, terutama wanita-wanita
yang satu angkatan dengan Lisa, bahkan kakak kelas pun ada yang mengaguminya.
Semenjak
informasi itu beredar, Lisa merasa tak nyaman ketika beberapa teman wanita yang
memandangnya sebelah mata. Mereka tak mengucapkan apapun kecuali berbisik
sesuatu ke teman wanita sebelahnya ketika sedang menatapnya. Pernah sekali Lisa
tidak sengaja mendengar salah satu isi perbincangan mereka. “Ih, Lisa mah genit
sama Satria. Dia kesengan tuh partner-an sama Satria. Belum tahu aja rasanya kalo aku ngelakuin sesuatu ke dia. Lihat
aja ntar.”
*****
Hampir 2 minggu Lisa dan Satria mengerjakan
tugas untuk acara sekolah mereka. Lisa memang tidak banyak membantu Satria,
tapi setidaknya Lisa sudah berbuat baik pada Satria. Kini giliran Lisa untuk
sepenuhnya bekerja setelah melihat hasil pekerjaan Satria yang cukup bagus.
“Kau tahu kan apa yang harus kau
lakukan?” terukir senyum tipis di akhir kalimat tersebut. Ini memang pertama
kalinya Lisa menjadi panitia acara sekolah seperti ini. Rasa was-was pastinya
selalu mengelilinginya karena Lisa takut jika hasilnya nanti tidak sebagus apa
yang ia dan orang lain harapkan. Lisa telah dipercayakan oleh banyak orang
untuk menjalani ini. Tapi pengalamannya memang sedikit untuk menjadi panitia di
acara seperti ini.
“Sat, gimana hasil kerjaku? Maaf ya,
nggak rapi. Ya kan nggak kayak kamu yang udah punya banyak pengalaman ginian. Nggak kayak aku” tanya Lisa pada Satria
sambil menunjukkan hasil kerjanya di layar laptop.
“Hmm….. lumayan bagus kok, tapi ada
beberapa yang harus diedit sih. Aku yakin kok kamu bisa” kepercayaan yang
diberikan oleh Satria benar-benar bisa membuat Lisa semangat dalam sekejap.
“Oh iya, aku dapet info dari ketua,
katanya ini harus selesai besok. Tolong ini kamu revisi semuanya ya. Aku percaya
kok kamu bisa, sekalian buat belajar kamunya. Nanti aku copy datanya ke flashdiskmu.”
Pinta Satria pada Lisa.
“Oke, akan kucoba semampuku. Lagian
kamu juga udah bawain contoh hasil
yang bener.” Semangat Lisa kini kembali berkobar setelah mendapat umpan
semangat dari Satria.
*****
Malam harinya, Lisa rela lembur di
depan laptop untuk menyelesaikan tugasnya. Tumpukan kertas dan sebuah laptop
menemaninya di atas tempat tidur.
Jam di dinding sudah menunjukkan
pukul 23:05, tugasnya sudah selesai. Ia tahu bahwa dirinya memang ceroboh, maka
dari itu ia menyimpan data hasil kerjanya di flashdisk dan dimasukkan ke dalam tas bagian depan.
*****
“Kalian tahu kan kalau Lisa itu nggak punya pengalaman apapun di
bidangnya itu, dibandingkan sama Satria yang udah punya banyak pengalaman.” Kata Sherly pada teman satu
gank-nya. Tak mau kalah, Grace ingin mengompori Sherly yang sedang cemburu,
“Tau nggak sih, katanya sih ya, hasil
kerja mereka harus diserahkan ke ketua hari ini juga. Hmm, gimana kalau kita
kerjain Lisa?”. Setelah mendengar kata-kata dari Grace, Sherly terlihat bingung
depan apa yang dimaksud oleh temannya itu. Grace langsung membisikkan sesuatu
ke telinga Sherly.
Mereka langsung menuju ke kelas Lisa,
beruntung pada jam pelajaran tersebut kelas Lisa kosong, berbeda dengan Grace
dan Sherly yang sudah terbiasa untuk kabur dari jam pelajaran. Grace menunggu
di depan pintu kelas untuk berjaga-jaga, sementara itu Sherly menuju ke deretan
bangku Lisa. Ia mencari-cari sesuatu di dalam tas Lisa berharap menemukan
sesuatu. Tak berapa lama, ia menemukan flashdisk
Lisa yang di dalamnya terdapat data hasil ketikannya semalaman. Dengan
sigapnya, barang-barang Lisa yang sebelumnya berantakan karena ulah Sherly,
kembali ia rapikan seperti sebelumnya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Sherly
dan Grace langsung meninggalkan kelas Lisa sambil membawa flashdisk tersebut.
Sepulang sekolah Lisa berniat untuk
bertemu dengan Satria. Namun, flashdisknya
hilang entah kemana. Segera ia keluarkan semua isi tasnya, namun hasilnya tetap
nihil. Tiba-tiba dari kejauhan, Satria datang menuju ke arah Lisa.
“Bagaimana? Sudah selesai kan? Boleh
ku lihat?” tanya Satria pada Lisa.
“Um… Maaf, Sat. Jujur sebenarnya aku
sudah menyelesaikannya, dan aku ingat kalau datanya sudah kubawa ke sekolah,
tapi entah kemana sekarang.” Jelas Lisa.
“Kamu punya back up nya? Gawat saja, kalau ini sampai hilang. Perlu dimulai
dari awal lagi.” Tanya Satria lagi.
“Nggak,
Sat. Maaf. Aku nggak punya
pikiran untuk menggandakan datanya.” Pelan-pelan, pipi Lisa mulai basah oleh
air matanya. Ia merasa tidak enak dengan Satria yang selama ini sudah
membantunya membuat datanya.
“Kamu gimana sih, Lis? Kok bisa? Terus mau gimana ini?
Kamu mau tanggungjawab? Aku udah ngasih
kepercayaan besar ke kamu, tapi ternyata apa yang dikatakan oleh teman-teman
bahwa kamu memang ceroboh ternyata benar.” Kali ini Satria tidak dapat menahan
marahnya. Ia langsung meninggalkan Lisa di tempat itu juga.
*****
Lisa kembali ke kelas dengan mata sembabnya. Ia masih tak
menyangka bahwa hasil kerjanya selama ini lenyap entah kemana. Namun ia yakin
bahwa ia tidak meninggalkan itu apalagi menjatuhkannya.
Sementara itu, ketua panitia yang ternyata telah mengetahui
masalah ini setelah diberitahu oleh Satria marah besar kepada Lisa. Namun mau
bagaimana lagi, acara tetap berjalan pada waktunya.
Selama acara berlangsung, Lisa
maupun Satria sama sekali bercakap-cakap seperti biasanya. Hal ini benar-benar
membuat Lisa pusing tidak karuan. Ia menyadari bahwa dirinya memang ceroboh
sebagai manusia. Tak hanya masalah data yang hilang, teman-temannya yang
dulunya berteman baik dengannya, kini mulai menjauh darinya. Lisa merasa tidak
nyaman dengan ini semua, hingga akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari
sekolah itu.
Setelah berkonsultasi dengan orang
tuanya dan pihak sekolah, akhirnya Lisa mengundurkan diri dari sekolah
tersebut. Meskipun pada awalnya kedua orang tua maupun pihak sekolah tetap
meminta Lisa untuk tetap melanjutkan pendidikannya di sekolah tersebut.
*****
Hampir 2 minggu Lisa berada di
Australia. Kedua orang tuanya memintanya untuk sementara tinggal disana agar Lisa
dapat hidup mandiri. Di Australia, Lisa tetap menempuh pendidikan di salah satu
sekolah menengah. Di negara inilah, bakat Lisa mulai terasah. Setiap ada waktu
luang, ia sering menggambar suatu gambar entah apa namanya. Namun, berkat
gambaran abstraknya lah, ia dikontrak oleh seseorang penggemar seni yang tidak
sengaja melihat Lisa sedang menggambar itu.
Kini, Lisa dapat hidup mandiri dan
dapat mempunyai penghasilan sendiri untuk keperluan dirinya sekolah disana,
hidup disana, maupun sebagian yang dikirimkan untuk kedua orang tuanya di
Indonesia.
*****
Dua tahun kemudian Lisa kembali ke
Indonesia karena di sekolahnya sedang mengadakan libur panjang, sehingga ia
memutuskan untuk kembali pulang ke Indonesia. Saat sedang mengelilingi kota
Jakarta, ia tidak sengaja bertemu dengan Satria. Kini, Satria mengenali dirinya
dengan jelas.
“Lisa? Sudah lama nggak ketemu. Bagaimana kabarmu? Ku
dengar sekarang kamu sudah sukses di usia mudamu ya? Hahaha, kecil-kecil sudah
menjadi ahli desain grafis di negeri orang.” Seperti dulu, masih dengan senyum
tipisnya ia memberikan pertanyaan yang berderet kepada Lisa sambil sesekali
mengusap gemas kepalanya seperti orang yang sudah lama tidak bertemu.
“Eh, Sat. Baik kok. Bisa aja deh.” Lisa
masih kaku ketika bertemu dengan Satria. Ia masih mengingat kenangan buruknya
dengan Satria 2 tahun yang lalu.
Percakapan singkat yang terjadi
siang itu membuat mereka kembali akrab seperti dahulu. Mereka saling bertukar
cerita satu sama lain. Lisa menceritakan pengalamannya selama tinggal di
Australia sehingga menjadi ahli desain grafis muda. Sementara itu, Satria
menceritakan kisah-kisah yang terjadi di sekolah selama Lisa tidak ada.
“Lis. Emm, aku minta maaf dulu
pernah marah berlebihan padamu. Aku tahu siapa pelakunya. Aku pun juga ikut
salah, kenapa aku tidak ada pemikiran untuk menggandakan datanya. Waktu itu aku
hanya memikirkan diriku sendiri.” Dengan pelan Satria menjelaskan apa yang
terjadi sesungguhnya dua tahun yang lalu. Ternyata rekaman CCTV di kelas Lisa
menjadi saksi bisu kejadian tersebut. Pihak sekolah mengusut masalah Lisa ini di
dalam lingkungan internal. Dan kini, masalah itu sudah terselesaikan.
“Iya, aku juga minta maaf udah mengecewakan kepercayaanmu. Sherly
dan Grace yang melakukannya? Ah, sudahlah. Biarkan saja. Aku sudah
memaafkannya.” Jawab Lisa pada Satria.
Setelah berbincang-bincang lama
mengenai masalah yang terjadi pada waktu itu, mereka memutuskan untuk kembali
ke rumah masing-masing.
“Lis, mulai saat ini kita berteman
lagi seperti dulu ya. Jarang-jarang ada orang yang seperti kamu. Kalau bahasa
gaulnya itu kamu ‘limited edition’ hahaha”
kata Satria sambil tertawa.
“Oke oke. Jarang-jarang juga ada
orang kayak kamu yang super baik, pintar, dan yang pasti …………” kalimat Lisa
terhenti. “Ah, ya sudahlah.”
Mereka masih tersenyum lebar setelah
percakapan yang terjadi selama hari itu. Lisa pulang dahulu menaiki taksi yang
lewat di kawasan tersebut. Sementara itu, Satria juga pulang menaiki motor
pribadinya.